Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak
laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja,
seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya
untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata, "Makanlah
nak, aku masih kenyang!"
Kebohongan Ibu yang Pertama
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu
senggangnya untuk pergi memancing di sungai dekat rumah, ibu berharap
dari ikan hasil pancingannya, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi
untuk petumbuhanku.
Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang
selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disampingku dan
memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan
bekas sisa tulang ikan yang aku makan.
Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan
sumpit, aku berikan sedikit bagianku dan memberikannya kepada ibu.
Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata, "Makanlah nak, aku tidak
suka makan ikan!"
Kebohongan Ibu yang Kedua
Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah ku dan kakak, ibu
pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel,
dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi
kebutuhan hidup.
Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu
masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan
pekerjaannya menempel kotak korek api.
Aku berkata, "Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus
kerja." Ibu tersenyum dan berkata, "Kamu tidurlah duluan, aku belum
mengantuk."
Kebohongan Ibu yang Ketiga
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi
ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang
tegar dan gigih menungguku selama beberapa jam.
Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai, Ibu
dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam
botol yang dingin untukku. Melihat Ibu yang dibanjiri peluh, aku segera
memberikan gelasku untuk Ibu sambil menyuruhnya minum. Namun Ibu
menjawab, "Minumlah nak, aku tidak haus!"
Kebohongan Ibu yang Keempat
Setelah kepergian Ayah karena sakit, Ibu yang malang harus merangkap
sebagai Ayah dan Ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia
harus membiayai kebutuhan hidup sendiri.
Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa
penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang
paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku
baik masalah besar maupun masalah kecil.
Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu
sengsara, seringkali menasehati Ibuku untuk menikah lagi. Tetapi Ibu
yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, Ibu berkata,
"Saya lebih senang sendiri bersama kalian anak-anakku."
Kebohongan Ibu yang Kelima
Setelah aku sudah tamat dari sekolah dan bekerja, Ibu yang sudah tua
sudah waktunya pensiun. Tetapi Ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke
pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Kakak ku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk
membantu memenuhi kebutuhan Ibu, tetapi Ibu bersikukuh tidak mau
menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu
berkata, "Terima kasih Nak, Ibu masih punya duit."
Kebohongan Ibu yang Keenam
Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian
memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat
sebuah beasiswa dari sebuah perusahaan.
Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan
tinggi, aku bermaksud membawa Ibuku untuk menikmati hidup di Amerika.
Tetapi Ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia
berkata kepadaku, "Aku lebih suka disini."
Kebohongan Ibu yang Ketujuh
Setelah memasuki usianya yang tua, Ibu terkena penyakit kanker, harus
dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang Samudera
Atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta.
Aku melihat Ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani
operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh
kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku
karena sakit yang ditahannya.
Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuhnya sehingga
Ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap Ibuku sambil
berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat Ibuku dalam
kondisi seperti ini. Tetapi Ibu dengan tegarnya berkata, "Jangan
menangis anakku, Aku tidak kesakitan."
Kebohongan Ibu yang Terakhir
Setelah mengucapkan kebohongannya yang terakhir, Ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.
"Berbaktilah pada Ibumu, Ibumu, Ibumu, Ayahmu!"
Coba pikirkan lagi, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon Ayah dan
Ibu kita? Berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk
berbincang dengan Ayah Ibu kita?
Di tengah-tengah aktivitas yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan Ayah Ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan Ayah dan Ibu yang ada di rumah.
Jika dibandingkan dengan kekasih kita, kita pasti lebih peduli dengan kekasih kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar kekasih kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum.
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari kedua orang tua kita? Cemas apakah mereka sudah makan atau belum? Cemas apakah mereka sudah bahagia atau belum?
Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi. Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi Ayah dan Ibu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata menyesal di kemudian hari.
Di tengah-tengah aktivitas yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan Ayah Ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan Ayah dan Ibu yang ada di rumah.
Jika dibandingkan dengan kekasih kita, kita pasti lebih peduli dengan kekasih kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar kekasih kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum.
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari kedua orang tua kita? Cemas apakah mereka sudah makan atau belum? Cemas apakah mereka sudah bahagia atau belum?
Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi. Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi Ayah dan Ibu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata menyesal di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment