(www.quartz.com/Marta Mirazon Lahr)
Peneliti mengaku telah menemukan bukti adanya peperangan paling awal di
bumi ini. Sekelompok tim peneliti Cambridge University, Inggris,
mengatakan bukti peperangan awal antarmanusia terjadi sekitar 10 ribu tahun lalu.
Kesimpulan peneliti muncul setelah tim menemukan sekumpulan fosil di situs Nataruk yang berada di dekat Danau Turkana, Kenya bagian selatan.
Dikutip dari Nationnal Daily Press, Senin 25 Januari 2016, dalam eskavasi pada situs tersebut, tim peneliti menemukan sedikitnya 27 fosil anggota suku yang terbunuh. Sisa fosil itu diidentifikasi sebagai korban dari peperangan awal. Fosil masih terlestarikan di sedimen danau yang mengering ribuan tahun lalu.
Dari 27 sisa fosil tersebut, tercatat 8 diidentifikasi perempuan, 6 anak-anak di belakangnya. Dari penggalian, 12 kerangka yang ditemukan dinyatakan dalam kondisi relatif baik dan hanya dua kerangka saja yang tidak menunjukkan adanya kematian akibat kekerasan.
Sementara laman dari The Hindu melaporkan bukti fosil itu dikatakan peneliti merupakan bukti paling awal konfrontasi kekerangan antara kelompok pengumpul dan pemburu nomaden.
"Kematian di Nataruk ini adalah saksi kekerasan dan perang antarkelompok pada zaman dahulu," kata pemimpin studi, Marta Mirazon Lahr, dari Leverhulme Centre for Human Evolutionary Studies Cambridge University.
Berdasarkan pengukuran radio karbon situs, pengujian karbon lainnya di fosil, dan sedimen yang ditemukan di situs tersebut, menunjukkan situs tersebut pernah subur pada periode setelah zaman es terakhir.
Kini situs tersebut telah menjadi semak belukar. Saat pecah peperangan, sekitar 10 ribu tahun lalu, situs itu adalah tepi danau yang subur, banyak makanan dengan memancing. Pada masa lalu, situs itu juga dekat dengan hutan dan airnya bisa diminum. Tak heran, peneliti menganalisa, tempat itu menjadi rebutan antarsuku.
"Pembantaian di Nataruk kemungkinan hasil dari upaya perebutan sumber daya yang nilainya sama dengan masyarakat pertanian yang menghasilkan makanan," kata Lahr.
Dikatakan Lahr, situs Nataruk juga menunjukkan secara sederhana bukti respons antagonistik standar dari pertemuan antara dua kelompok sosial pada saat itu.
Sedangkan salah satu tim penulis dalam studi tersebut, Robert Foley mengatakan secara garis besar sangat optimis kondisi peperangan pada masa itu.
"Saya tak ragu dalam biologi kita menjadi agresif dan mematikan, seperti ini adalah menjadi sangat peduli dan penuh kasih. Banyak dari apa yang kita mengerti tentang evolusi biologi manusia menunjukkan ini adalah tidak jauh dari kita," kata dia.
Kesimpulan peneliti muncul setelah tim menemukan sekumpulan fosil di situs Nataruk yang berada di dekat Danau Turkana, Kenya bagian selatan.
Dikutip dari Nationnal Daily Press, Senin 25 Januari 2016, dalam eskavasi pada situs tersebut, tim peneliti menemukan sedikitnya 27 fosil anggota suku yang terbunuh. Sisa fosil itu diidentifikasi sebagai korban dari peperangan awal. Fosil masih terlestarikan di sedimen danau yang mengering ribuan tahun lalu.
Dari 27 sisa fosil tersebut, tercatat 8 diidentifikasi perempuan, 6 anak-anak di belakangnya. Dari penggalian, 12 kerangka yang ditemukan dinyatakan dalam kondisi relatif baik dan hanya dua kerangka saja yang tidak menunjukkan adanya kematian akibat kekerasan.
Sementara laman dari The Hindu melaporkan bukti fosil itu dikatakan peneliti merupakan bukti paling awal konfrontasi kekerangan antara kelompok pengumpul dan pemburu nomaden.
"Kematian di Nataruk ini adalah saksi kekerasan dan perang antarkelompok pada zaman dahulu," kata pemimpin studi, Marta Mirazon Lahr, dari Leverhulme Centre for Human Evolutionary Studies Cambridge University.
Berdasarkan pengukuran radio karbon situs, pengujian karbon lainnya di fosil, dan sedimen yang ditemukan di situs tersebut, menunjukkan situs tersebut pernah subur pada periode setelah zaman es terakhir.
Kini situs tersebut telah menjadi semak belukar. Saat pecah peperangan, sekitar 10 ribu tahun lalu, situs itu adalah tepi danau yang subur, banyak makanan dengan memancing. Pada masa lalu, situs itu juga dekat dengan hutan dan airnya bisa diminum. Tak heran, peneliti menganalisa, tempat itu menjadi rebutan antarsuku.
"Pembantaian di Nataruk kemungkinan hasil dari upaya perebutan sumber daya yang nilainya sama dengan masyarakat pertanian yang menghasilkan makanan," kata Lahr.
Dikatakan Lahr, situs Nataruk juga menunjukkan secara sederhana bukti respons antagonistik standar dari pertemuan antara dua kelompok sosial pada saat itu.
Sedangkan salah satu tim penulis dalam studi tersebut, Robert Foley mengatakan secara garis besar sangat optimis kondisi peperangan pada masa itu.
"Saya tak ragu dalam biologi kita menjadi agresif dan mematikan, seperti ini adalah menjadi sangat peduli dan penuh kasih. Banyak dari apa yang kita mengerti tentang evolusi biologi manusia menunjukkan ini adalah tidak jauh dari kita," kata dia.
Sumber: quartz
No comments:
Post a Comment