Misteri Dibalik Letusan Gunung Agung di Bali - Biasanya dibalik letusan gunung berapi ada sebuah misteri yang terkandung didalamnya, seperti misteri yang satu ini. Saat gunung Merapi di Jogja meletus, Indonesia geger dan terenyuh dengan meninggalnya Mbah Marijan sang juru kunci gunung Merapi tersebut, tapi kalau kita lihat saat tahun 1963 gunung Agung meletus di Bali, tak hanya juru kunci gunung Agung nya yang tak mau mengungsi, bahkan hampir semua lelaki dewasa dari beberapa desa “menyambut” lahar tumpahan gunung Agung tersebut.
Gunung Agung merupakan sebuah gunung vulkanik tipe monoconic strato yang tingginya mencapai sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi di Bali ini termasuk muda dan terakhir meletus pada tahun 1963 setelah mengalami tidur panjang selama 120 tahun.
Sejarah aktivitas Gunung berapi Agung memang tidak terlalu banyak diketahui. Catatan sejarah mengenai letusan gunung ini mulai muncul pada tahun 1808. Ketika itu letusan disertai dengan uap dan abu vulkanik terjadi. Aktivitas gunung ini berlanjut pada tahun 1821, namun tidak ada catatan mengenai hal tersebut. Pada tahun 1843, Gunung Agung meletus kembali yang didahului dengan sejumlah gempa bumi. Letusan ini juga menghasilkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung.
Sejak 120 tahun tersebut, baru pada tahun 1963 Gunung Agung meletus kembali dan menghasilkan akibat yang sangat merusak. Berdasarkan buku yang dikarang Kusumadinata pada tahun 1979 gempa bumi sebelum letusan gunung berapi yang saat ini masih aktif tersebut terjadi pada 16-18 Februari 1963. Gempa tersebut dirasakan dan didengar oleh masyarakat yang hidup di sekitar Gunung Agung.
Letusan Gunung Agung yang diketahui sebanyak 4 kali sejak tahun 1800, diantaranya : Di tahun 1808 ; Dalam tahun ini dilontarkan abu dan batu apung dengan jumlah luar biasa. 1821 Terjadi letusan normal, selanjutnya tidak ada keterangan. Tahun 1843 Letusan didahului oleh gempa bumi. Material yang dimuntahkan yaitu abu, pasir, dan batu apung.
Selanjutnya dalam tahun 1908, 1915, dan 1917 di berbagai tempat di dasar kawah dan pematangnya tampak tembusan fumarola. 1963 Letusan dimulai tanggal 18 Pebruari 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Januari 1964. Letusan bersifat magnatis. Korban tercatat 1.148 orang meninggal dan 296 orang luka.
Karakter Letusan
Pola dan sebaran hasil letusan lampau sebelum tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963 menunjukkan tipe letusan yang hampir sama, diantaranya adalah bersifat eksplosif (letusan, dengan melontarkan batuan pijar, pecahan lava, hujan piroklastik dan abu), dan efusif berupa aliran awan panas, dan aliran lava (Sutukno B., 1996).
Periode Letusan
Dari 4 kejadian letusan masa lampau, periode istirahat Gunung Agung dapat diketahui yakni terpendek 16 tahun dan terpanjang 120 tahun.
Letusan 1963 ; Kronologi Letusan tahun 1963.
Lama letusan Gunung Agung tahun 1963 berlangsung hampir 1 tahun, yaitu dari pertengahan Pebruari 1963 sampai dengan 26 Januari 1964, dengan kronologinya sebagai berikut : .
16 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi ringan oleh penghuni beberapa Kampung Yehkori (lebih kurang 928 m dari muka laut) di lereng selatan, kira-kira 6 kilometer dari puncak Gunung Agung.
17 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi di Kampung Kubu di pantai timur laut kaki gunung pada jarak lebih kurang 11 km dari lubang kepundannya.
18 Pebruari 1963 : Kira-kira pukul 23.00 di pantai utara terdengar suara gemuruh dalam tanah.
19 Pebruari 1963 : Pukul 01.00 terlihat gumpalan asap dan bau gas belerang. Pukul 03.00 terlihat awan yang menghembus dari kepundan,makin hebat bergumpal-gumpal dan dua jam kemudian mulai terdengar dentuman yang nyaring untuk pertama kalinya. Suara yang lama bergema ini kemudian disusul oleh semburan batu sebesar kepalan tangan dan diakhiri oleh sembuaran asap berwarna kelabu kehitam-hitaman . Sebuah bom dari jauh tampak sebesar buah kelapa terpisah dari yang lainnya dan dilontarkan lewat puncak ke arah Besakih. Penghuni Desa Sebudi dan Nangka di lereng selatan mulai mengungsi, terutama tidak tahan hawa sekitarnya yang mulai panas dan berbau belerang itu. Di sekitar Lebih, udara diliputi kabut, sedangabu mulai turun.
Air di sungai mulai turun. Air di sungai telah berwarna coklat dan kental membawa batu dengan suara gemuruh, tanda lahar hujan permulaan. Penghuninya tetap tenang dan melakukan persembahyangan. Pukul 10.00 terdengar lagi suara letusan dan asap makin tebal. Pandangan ke arah gunung terhalang kabut, sedang hujan lumpur mulai turun di sekitar lerengnya.
Di malam hari terlihat gerakan api pada mulut kawah, sedangkan kilat sambung-menyambung di atas puncaknya.
20 Pebruari 1963 : Gunung tetap menunjukkan gerakan berapi. 06.30 terdengar suara letusan & terlihat lemparan bom lebih besar. 07.30 penduduk Kubu mulai panik, banyak diantara mereka mengungsi ke Tianyar, sedangkan penghuni dari lereng selatan pindah ke Bebandem dan Selat.
21 Pebruari 1963 : Asap masih tetap tebal mengepul dari kawah.
22 Pebruari 1963 : Kegiatan terus menerus berupa letusan asap serta loncatan api dan suara gemuruh.
23 Pebruari 1963 : Pukul 08.30 sekitar Besakih, Rendang dan Selat dihujani batu kecil serta tajam, pasir serta abu.
24 Pebruari 1963 : Hujan lumpur lebat turun di Besakih mengakibatkan beberapa bangunan Eka Dasa Rudra roboh. Penduduk Temukus mengungsi ke Besakih. Awan panas letusan turun lewat Tukad Daya hingga di Blong.
25 Pebruari 1963 : Pukul 15.15 awan panas turun di sebelah timurlaut lewat Tukad Barak dan Daya. Lahar hujan di Tukad Daya menyebabkan hubungan antara Kubu dan Tianyar terputus. Desa Bantas-Siligading dilanda awan panas mengakibatkan 10 orang korban. Lahar hujan melanda 9 buah rumah di Desa Ban , korban 8 orang.
26 Pebruari 1963 : Lava di utara tetap meleler. Lahar hujan mengalir hingga di Desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap tampak meningkat dan penduduk Desa Sogra, Sangkan Kuasa, Badegdukuh dan Badegtengah mengungsi ke selatan.
Di Lebih hujan yang agak kental dan gatal turun. Lahar terjadi di sekitar Sidemen. Juga lahar mengalir di utara di Tukad Daya dan Tukad Barak. Pukul 18.15 hujan pasir di Besakih. Pangi diliputi hawa belerang yang tajam sekali. Penduduknya mengungsi ke Babandem. Kemudian kegiatan Gunung Agung ini terus menerus berlangsung, boleh dikatakan setiap hari hujan abu turun, sementara sungai mengalirkan lahar dan lava terus meleler ke utara.
17 Maret 1963 : Merupakan puncak kegiatan. Tinggi awan letusan mencapai klimaksnya pada pk. 05.32. Pada saat itu tampak awan letusannya menurut pengamatan dari Rendang sudah melewati zenith dan keadaan ini berlangsung hingga pukul 13.00. Awan panas turun dan masuk ke Tukad Yehsah, Tukad Langon, Tukad Barak dan Tukad Janga di selatan. Di utara gunung sejak pukul 01.00 suara letusan terdengar rata-rata setiap lima detik sekali. Awan panas turun bergumpal-gumpal menuju Tukad Sakti, Tukad Daya dan sungai lainnya di sebelah utara. Mulai pukul 07.40 lahar hujan terjadi mengepulkan asap putih, dan ini berlangsung hingga pukul 08.10.
Pukul 08.00 turun hujan abu, pada pukul 09.20 turun hujan kerikil, dan sementara itu awan panas pun turun bergelombang.
Pada pukul 11.00 hujan abu makin deras hingga penglihatan sama sekali terhalang.
Pada pukul 12.00 lahar yang berasap putih itu mulai meluap dari tepi Tukad Daya. Baru pukul 12.45 hujan abu reda dan kemudian pukul 15.30 suara letusan pun berkurang untuk selanjutnya hilang sama sekali. Adapun sungai yang kemasukan awan panas selama puncak kegiatan ini adalah sebanyak lk. 13 buah di lereng selatan dan 7 buah di lereng utara. Jarak terjauh yang dicapainya adalah lebih kurang 14 kilometer, ialah di Tukad daya di utara. Sebelah barat dan timur gunung bebas awan panas. Lamanya berlangsung paroksisma pertama ini yakni selama lebih kurang 10 jam yakni dari pukul 05.00 hingga pukul 15.00.
21 Maret 1963 : Kota Subagan, Karangasem terlanda lahar hujan hingga jatuh korban lebih kurang 140 orang. Setelah letusan dahsyat pada tanggal 17 Maret ini, maka aktivitasnya berkurang, sedang suara gemuruh yang tadinya terus menerus terdengar hilang lenyap. Demikian leleran lava ke utara berhenti pada garis ketinggian 501,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m dari puncak.
16 Mei 1963 : Paroksisma kedua diawali oleh letusan pendahuluan, mula-mula lemah dan lambat laun bertambah kuat. Pada sore hari 16 Mei, kegiatan meningkat lagi terus meneru, hingga mencapai puncaknya pada pukul 17.07. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi kira-kira 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13. Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lebih kurang 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi lebih kurang 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13. Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lk. 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00.
Nopember 1963 : Tinggi asap solfatara/fumarola mencapai lebih kurang 500 m di ats puncak. Sejak Nopember warna asap letusan adalah putih.
10 Januari 1964 : Tinggi hembusan asap mencapai 1500 m di atas puncak.
26 Januari 1964 : Pukul 06.50 tampak kepulan asap dari puncak Gunung Agung berwarna kelabu dan kemudian pada pukul 07.02, 07.05 dan 07.07 tampak lagi letusan berasap hitam tebal serupa kol kembang, susul menyusul dari tiga buah lubang, mula-mula dari sebelah barat lalu sebelah timur mencapai ketinggian maksimal lebih kurang 4.000 m di atas puncak. Seluruh pinggir kawah tampak ditutupi oleh awan tersebut. Suara lemah tetapi terang terdengar pula.
27 Januari 1964 : Kegiatan Gunung Agung berhenti
Produk Letusan 1963 Lahar Hujan: Sesuai dengan letak geografi dari Gunung Agung yang bertindak sebagai penangkap hujan angin tenggara yang menghembus, lahar besar dimulai di lereng utara, kemudian di lereng timur menenggara untuk kemudian lambat laun bergeser ke jurusan barat dan mencapai klimaksnya di lereng selatan baratdaya. Lahar besar ke selatan mulai meluas pada ketinggian 500 m antara Rendang dan padangkerta. Kemudian di bawah Tukad Jangga, yakni di Tukad Krekuk dan Jasi, Bugbug dan akhirnya di Tukad Unda. Mengingat daerah utara terletak dalam bayangan hujan, laharnya bukan bayangan daripada endapan lepas, yang sebenarnya maksimal jatuh di sebelah sini.
Aliran Lava : Lava yang meleler antara 19 Pebruari dan 17 Maret 1963 mengalir dari kawah utama di puncak ke utara, lewat tepi kawah yang paling rendah, berhenti pada garis ketinggian 505,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m. Isi lava tersebut ditaksir sebanyak lebih kurang 339,235 juta m3.
Bahan Lepas : Terdiri dari bom gunungapi, lapili, pasir dan abu, baik berasal dari awan panas letusan maupun dari ledakan kawah pusat. Jumlah seluruhnya selama roda kegiatan berlangsung : Eflata (bom, pasir dan abu) lebih kurang 380,5 . 106 m3, Ladu lebih kurang 110,3 . 106 m3.
Awan Panas Gunung Agung : Di Gunung Agung terdapat dua macam awan panas, yakni awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi pada waktu ada letusan besar. Pada waktu itu maka bagian bawah dari tiang letusan yang jenuh dengan bahan gunung api melampaui tepi kawah dan meluncur ke bawah. Bergeraknya melalui bagian yang rendah di tepi kawah, ialah lurah dan selanjutnya mengikuti sungai. Kecepatan dari awan letusan ini menurut pengamatan dari Pos Rendang adalah rata-rata 60 km per jam dan di sebelah selatan mencapai jarak paling jauh 13 km, yakni di Tukad Luah dan di sebelah utara 14 km di Tukad Daya.
Menurut Suryo (1964) selanjutnya, awan panas guguran adalah awan panas yang sering meluncur dari bawah puncak (tepi kawah). walaupun tidak ada letusan dapat terjadi awan panas guguran. Dapat pula terjadi apabila terjadi bagian dari aliran lava yang masih panas gugur, seperti terjadi pada waktu lava meleler di lereng utara.
Daerah yang terserang awan panas letusan pada kegiatan 1963 terbatas pada lereng selatan dan utara saja, karena baik di barat maupun di sebelah timur kawah ada sebuah punggung. Kedua punggung ini memanjang dari barat ke timur. Awan panas letusan yang melampaui tepi kawah bagian timur dipecah oleh punggung menjadi dua jurusan ialah timur laut dan tenggara. Demikian awan panas di sebelah barat dipecah oleh punggung barat ke jurusan baratdaya dan utara. Awan panas letusan yang terjadi selama kegiatan 1963 telah melanda tanah seluas lebih kurang 70km2 dan menyebabkan jatuh 863 korban manusia.
Korban Kegiatan Gunung Agung
Menurut Suryo (1965, p.22-26) ada 3 sebab gejala yang menyebabkan jatuh korban selama kegiatan Gunung Agung dalam 1963, yakni akibat awan panas, piroklastika dan lahar. Akibat awan panas meninggal 820 orang, 59 orang luka. Akibat Piroklastika meninggal 820 orang, luka 201 orang. Akibat lahar meninggal 165 orang, 36 orang luka.
Kehebatan dan Energi : Kusumadinata (1964) telah menghitung energi dan kehebatan letusan Gunung Agung tahun 1963 dengan hasil sebagai berikut : kehebatan di level 4, Volume bahan letusan 0.83 km3, berat jenis 2,3 (d), Energi kalor yang dilepaskan 2,189.1025 erg (Eth), Kesetaraan bom atom : 2605,9 (Ae), Kebesaran letusan 8,99.
Dari catatan dan wawancara tim expedisi Ring of Fire, ada beberapa kisah memilukan juga “kemanusiaan” saat gunung Agung ini meletus, ini petikan dari hasil wawancara nya :
PURA di Badeg Dukuh dan Sogra hancur. Hampir seluruh bangunan ambruk diterjang awan panas. Menurut catatan Kusumadinata (1963), awan panas pagi itu telah menewaskan 109 warga Badeg Dukuh dan 102 warga Sogra.
Bagi sebagian orang, sikap warga Sogra dan Badeg mungkin dianggap mencari mati. Namun, tidak bagi masyarakat Bali waktu itu. Badeg Dukuh, menurut budayawan Bali, Cok Sawitri, memang bukan perdukuhan biasa. ”Kepala dukuhnya seperti juru kunci Gunung Agung, seperti Mbah Marijan (di Gunung Merapi, Yogyakarta). Dia bertugas berkomunikasi dengan Gunung Agung. Saat meletus, dia memang tak mau mengungsi,” katanya.
Budayawan yang berasal dari Karangasem ini pernah bertemu dengan saksi mata yang mengevakuasi korban awan panas di Badeg Dukuh. ”Mereka bilang, di pura itu seperti upacara penyambutan, semacam odalan. Saat ditemukan, para korban dalam posisi duduk menabuh gamelan. Kepala dukuh duduk dengan genta masih di tangan. Dia berdoa,” katanya.
Semua korban, menurut Cok Sawitri, berlapis debu. ”Saat disentuh langsung hancur.”
Cok yakin, orang-orang yang tewas di pura Badeg Dukuh itu sengaja menyambut letusan. ”Itu barangkali ungkapan kesetiaan sebagai kuncen,” katanya.
Keyakinan Cok Sawitri itu didasari cerita dari pamannya, Tjokorda Gde Dangin, yang pada saat letusan menjadi Perbekel Desa Sidemen, sekitar 20 kilometer dari Badeg Dukuh. Menjelang letusan pada Minggu pagi itu, anak-anak dari Badeg Dukuh, termasuk anak dari Kepala Badeg Dukuh, datang ke rumah Gde Dangin. Mereka meminta izin mengungsi di Sidemen karena Gunung Agung dipercaya akan meletus hebat.
”Paman lalu bertanya, bapak kalian mana?” kisah Cok Sawitri.
Anak-anak itu menjawab, ayah mereka tidak ikut karena harus mengiringi perjalanan Bathara Gunung Agung menuju samudra. ”Barangkali orang-orang di Badeg Dukuh itu disuruh memilih, mau menyambut letusan gunung itu atau mengungsi,” kata Sawitri.
Kisah Sawitri ini mengingatkan pada hasil penelitian Thomas A Reuter dalam Custodians of the Sacred Mountains (2002) yang menyebutkan bahwa orang-orang Bali di pegunungan merasa memiliki kewajiban suci melindungi pulau itu. Reuter mengutip pernyataan Jero Tongkong, tetua Bali Aga—sebutan orang luar terhadap masyarakat Bali pegunungan—yang mengatakan,”Kami menjaga pegunungan kehidupan ini, pura-pura asal-usul Bali: kami adalah dahan tua yang mendukung ujung yang segar. Jika kami mengabaikan tugas (ritual) kami, dunia akan berguncang dan seluruh penduduknya akan hancur lebur.”
Antropolog Universitas Indonesia, James Danandjaja dalam Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, 1980, juga mencatat tentang kisah orang-orang Trunyan yang tidak mau mengungsi saat Gunung Agung meletus hebat pada 1963. Padahal, letusan itu berdampak pula kepada masyarakat Trunyan yang desa induknya terletak di tepi Danau Batur.
Menurut Danandjaja, awan panas tidak langsung mengenai desa tersebut, tetapi hujan abu yang turun lebat menyebabkan sebagian tanah di kawasan itu menjadi tandus sehingga menimbulkan kelaparan. Lahar juga mengakibatkan sebagian besar desa induk Trunyan tersapu masuk ke dalam danau.
”Mereka tidak mau meninggalkan desa walau diperintahkan oleh Bupati Bangli untuk keluar dari kawah Gunung Batur purba, tempat desa induk berada,” tulis Danandjaja.
Yang mengungsi saat itu, menurut Danandjaja, hanya Perbekel (kepala desa) Trunyan, lantaran tidak mau menyinggung perasaan pemerintah daerah. ”Itu pun setelah beberapa hari, ia pulang kembali ke desa walaupun suara gemuruh dan gempa bumi belum reda,” tulisnya.
Danandjaja menggambarkan, masyarakat Bali sejak dulu begitu terikat dengan gunung-gunung yang mengelilingi mereka. Gunung menjadi pusat orientasi spiritual masyarakat.
Besakih saat Letusan
Menjulang 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) di tengah Pulau Bali, Gunung Agung merupakan gunung suci. Gunung tertinggi di Bali ini dipercaya sebagai perempatan agung atau sumbu Bumi yang menjadi persemayaman Bathara Mahadewa atau Hyang Tolangkir.
Kama Kusumadinata, vulkanolog Direktorat Geologi Bandung yang datang ke Bali pada saat kritis itu, menemukan sebagian masyarakat Bali meyakini bahwa penyebab letusan Gunung Agung tahun 1963 bersifat spiritual. Arahan dari jawatannya pun diabaikan. Padahal, Direktorat Geologi—lembaga pemerintah yang bertanggung jawab soal gunung api waktu itu—telah menetapkan zona bahaya Gunung Agung dalam radius 5 kilometer dari puncak.
Dalam laporan resmi kepada jawatannya berjudul Kegiatan Gunung Agung: tanggal 16 Febuari- 21 Maret 1963, Kusumadinata menyebutkan, sebagian masyarakat Bali lebih mempercayai ucapan orang yang kerasukan (trance). Beberapa informasi yang berhasil dikumpulkannya dari orang-orang trance itu, di antaranya, ”Bathara Gunung Agung marah dan mengancam akan meletus jika dalam jangka waktu satu minggu tidak dilaksanakan sesajen-sesajen dan permintaan lainnya yang akan dikemukakan oleh orang-orang yang kerasukan roh suci.”
Untuk mengatasi itu, tambah Kusumadinata, kemudian marak dilakukan upacara nyapuh agem dan manik sampih dengan bebantem berupa kerbau, angsa, kambing putih, dan aneka sesajen lainnya. ”Memang setelah itu terasa kegiatan Gunung Agung agak mereda,” tulis Kusumadinata.
Saat-saat kritis menjelang paroksimal pertama itu, masyarakat Bali tengah menyiapkan perayaan Eka Dasa Rudra pada 8 Maret 1963 di Pura Besakih, sekitar 6,5 km dari puncak Gunung Agung. Eka Dasa Rudra, menurut David J Stuart-Fox dalam Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, 2010, merupakan upacara agama yang paling besar bagi umat Hindu-Bali karena itu harus diselenggarakan di pura terbesar dan paling utama: Pura Besakih.
Kusumadinata dan jajaran staf Direktorat Geologi, yang ditemui salah seorang panitia acara waktu itu, meminta agar upacara ditunda dulu seminggu hingga ada pemeriksaan lebih lanjut. Terjadi perdebatan alot. Upacara akhirnya tetap dilakukan pada tanggal yang sama.
Para peneliti dari Direktorat Geologi mengalah. Mereka berkompromi upacara hanya boleh digelar pada hari pembukaan saja, selebihnya disarankan agar Pura Besakih dikosongkan sejak 9 Maret 1963. Alasan pengosongan, menurut Kusumadinata, ”Terasa getaran tanah yang lain sekali dari semula dan mungkin menandakan akan terjadi letusan besar. Letusan terus-menerus, kemungkin bisa menyebabkan tangkis alam yang selama ini melindungi Besakih lama-lama runtuh.”
Sederet alasan yang disampaikan para ahli gunung api dari Direktorat Geologi itu pun tak mampu meyakinkan masyarakat Bali. ”Pengosongan Besakih tak dapat dilaksanakan,” tulis Kusumadinata.
Upacara Eka Dasa Rudra tetap digelar seperti yang direncanakan. ”Sepuluh ribu orang menghadiri upacara tersebut pada hari itu (8 Maret), termasuk gubernur, para kepala pemerintah daerah, dan tokoh-tokoh Bali yang terkemuka lainya,” tulis Stuart-Fox. Pada hari-hari setelah itu, sekitar 5.000 orang datang ke Pura Besakih walaupun terjadi hujan debu dan lapili—kerikil yang disemburkan gunung api. Ritual di Besakih terus digelar hingga 15 Maret, hanya dua hari sebelum letusan besar pertama terjadi.
Sepanjang masa letusan, bangunan dan tempat-tempat suci di Pura Besakih itu hanya mengalami kerusakan kecil. Warga yang berdoa di sana pun selamat. Bahkan, saat letusan besar pertama terjadi, Pura Besakih seperti tak tersentuh. Demikian pula pada letusan besar kedua pada 16 Mei 1963. Namun, Pura Besakih mengalami kerusakan besar karena gempa tektonik berkekuatan 6 skala Richter yang mengguncang Bali pada 18 Mei 1963.
sumber : serunik
No comments:
Post a Comment